Minggu, 19 Juni 2011

Für meinen Schatz (mehr)

…..............…,•’``’•,•’``’•,
...........…...…’•,`’•,S,•’`,•’
..............……....`’•,,•’`
…...…,•’``’•,•’``’•,
…...…’•,`ILD’`,•’
...……....`’•,,•’`


mein Schatz
Ich sehe dich,
und verliere mich.
Ich höre dich sprechen
und will mein Schweigen brechen.
Ich bin bei dir,
du bist bei mir,
es kann gar nichts Schöneres geben,
ich will einfach nur noch mit Dir LEBEN!!!

Ich bin so froh, dass es dich gibt!

Ich Liebe Dich :-)

»*¯*«*»*¯*«, »*¯*«*»*¯*«

Senin, 13 Juni 2011

Für meinen geliebten Schatz...

mein goldschatz ich liebe dich!!
Mein Herz schreit: „wo bist du?“
Mein Herz weint: „Nicht hier!“
Mein Herz sagt: „Ich vermisse Dich!“
Mein Herz flüstert: „Ich Liebe dich!“

bevor ich dich kante (für den besten menschen in meinem leben )
Bevor ich dich kannte, begann ich verzweifelt nach dem Sinn des Lebens zu suchen. Doch nach kurzer Zeit stellte ich fest, dass es so etwas wie Sinn in meinem Leben nicht gab. Jeden Tag immer nur das selbe Schema: Aufstehen, zur Arbeit, nach Hause, ins Bett. Und zwischendurch... so ziemlich gar nichts. Doch dann tratst du in mein Leben, ohne dass ich damit gerechnet hätte. Mein täglicher Tageskreislauf änderte sich abrupt: Ich freue mich auf jeden neuen Tag. Darauf, jeden Augenblick an dich zu denken, abends am Telefon deiner Stimme zu lauschen, nachts von dir zu träumen, immer wieder verliebt dein Foto anzusehen, und jede Sekunde zu hassen, die ich nicht bei dir sein kann. Du hast mir so vieles gezeigt. Dass wahre Liebe nicht immer weh tun muss Und dass nicht alle Menschen gleich kalt und herzlos sind. Dass ein Gedanke allein genügt, um für verrücktes Bauchkribbeln zu sorgen, oder mich vor Glück weinen zu lassen. Und auch, dass blindes Vertrauen keine Glückssache sein muss. Ja, du hast meinem Leben einen Sinn gegeben.

Ich bin so froh, dass es dich gibt!

Ich Liebe Dich :-)

Sabtu, 11 Juni 2011

Mengapa Popeye Makan Bayam????

Sebagai sebuah karya fiksi, tentunya sah-sah saja bila dalam kartun
tersebut efek makan bayam sedikit didramatisir. Popeye yang dalam
kondisi normal memiliki postur kecil dan kerempeng, dalam sekejap
mampu melawan Brutus, musuh utamanya yang berbadan jauh lebih
besar setelah makan bayam.
Tokoh kartun Popeye diciptakan oleh Elzie Crisler Segar, dan diperkenalkan
dalam bentuk komik strip pada awal 1929. Dengan cepat, sosok yang juga
digambarkan selalu mengulum pipa tembakau ini sukses meraih
popularitas pada era 1930-an.
Di masa itu, kartun Popeye merupakan bagian dari kampanye makan
sayur di kalangan anak-anak. Meski mengandung banyak nutrisi, sayuran
ini kurang disukai anak-anak karena rasanya yang dinilai tidak enak.
Bayam sangat kaya akan kandungan berbagai vitamin dari A hingga K.
Selain itu juga mengandung banyak mineral, antara lain potasium,
phosphor, magnesium dan zat besi.
Bayam juga mengandung nutrisi lain seperti berbagai asam amino
esensial dan serat.
Sooo...jadilah seperti Popeye yg suka mkn bayaammm....^^

Sabtu, 12 Maret 2011

Alles über Deutschland

Jerman mempunyai sejarah kenegaraan yang panjang dan unik. Awalnya, Jerman berbentuk Persatuan Jerman. Pada 1871, Jerman berdiri, berbentuk Kekaisaran Jerman.

Setelah Perang Dunia II, Kekaisaran Jerman terbagi menjadi dua negara, yaitu Jerman Barat (Republik Federasi Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokrasi Jerman). Kedua negara itu memiliki ideologi yang berbeda.

Sejak penyatuan kembali (reunifikasi) Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1990, Jerman memiliki nama resmi yang dikenal dengan istilah Republik Federasi Jerman. Saat sekarang, Jerman terdiri dari 39 Federasi yang berdaulat. Berlin merupakan ibu kota negara tersebut.

Peran Serta Jerman di Organisasi Dunia
Saat ini, Jerman bergabung sebagai anggota aktif beberapa organisasi dunia di antaranya:

* PBB
* Uni Eropa
* NATO
* G8
* OECD

Jumlah Penduduk

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 82 juta jiwa, Jerman termasuk negara yang berpenduduk terpadat di Eropa. Namun, dengan angka kelahiran 8,18 per 1000 orang, Jerman sedang menghadapi masalah kependudukan yang serius.

Geografi

* Letak Geografis Negara Jerman
Jerman terletak di Eropa Bagian Tengah dengan batas-batas negara sebagai berikut:
o Di sebelah utara, berbatasan dengan Denmark.
o Di sebelah timur, berbatasan dengan Polandia dan Republik Ceko.
o Di sebelah selatan, berbatasan dengan Austria dan Swiss.
o Di sebelah barat, berbatasan dengan Perancis, Belgia, Luksemburg, dan Belanda.
* Topografi Wilayah Jerman
o Dataran rendah membentuk topografi daerah bagian Utara Jerman.
o Dataran tinggi dan beberapa pegunungan membentuk topografi di daerah bagian Tengah Jerman.
o Pegunungan yang membentuk Pegunungan Alpen di daerah bagian Selatan.
o Puncak tertinggi, yaitu Zugspitze (2.962 m)
* Sungai di Jerman
Sungai-sungai besar di Eropa yang mengalir di wilayah Jerman, di antaranya:
o Di sebelah Barat dan Barat Daya, Sungai Rhine mengalir sepanjang 865 km.
o Di sebelah Timur, sungai Elbe mengalir sepanjang 725 km yang bermuara ke Laut Utara.
o Sungai Donau mengalir hingga ke Eropa Tenggara.
* Iklim Jerman
Jerman beriklim subtropis, mengalami empat perubahan musim, yaitu:
o Musim Semi
o Musim Panas
o Musim Gugur
o Musim Dingin.
Jerman tidak mengalami perubahan suhu yang dramatis. Suhu rata-rata -2° C pada musim dingin dan 30° C pada musim panas.


Politik dan Pemerintahan Jerman

* Sejak penyatuan kembali (reunifikasi) pada tahun 1990, Jerman berbentuk negara federasi dengan 16 negara bagian.
* Secara konstitusional, Jerman merupakan negara parlementer. Pemerintahannya dipimpin oleh seorang kanselir. Kanselir dipilih oleh badan legislatif federal Bundestag setiap empat tahun sekali.
* Sedangkan kepala negaranya dipimpin oleh presiden yang dipilih oleh Bundesversammlung, terdiri dari Bundestag dan perwakilan dari setiap negara bagian. Presiden dipilih setiap lima tahun sekali yang jatuh pada tanggal 23 Mei.
* Pemilihan umum di Jerman mengenal sistem banyak partai. Beberapa partai besar di Jerman di antaranya:
1. Partai Sosial Demokrat (SPD)
2. Uni Kristen Demokrat (CDU)
3. Uni Kristen Sosial (CSU)
4. Die Linke, Die Gruenen
5. Partai Nasional Demokrat (NPD)
Sejak pemilihan umum tahun 1949, dua partai terbesar SPD dan CDU bergantian memimpin Jerman.


Pembagian Administratif

* Sebagai negara federasi, Jerman mengakui kedaulatan negara-negara bagiannya. Setiap negara bagian dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang berdaulat, namun tetap patuh terhadap UUD tahun 1949.
* Jerman mempunyai 16 negara bagian, yaitu:
o Baden Wûttemberg
o Bavaria
o Brandenburg
o Hesse
o Mecklenburg-Vorpommern
o Lower Saxony
o North-Rhine Westphalia
o Rhineland-Palatinate
o Saarland
o Saxony
o Saxony Anhalt
o Schleswig Holstein
o Thuringia
o Berlin (negara kota)
o Bremen (negara kota)
o Hamburg (negara kota).
* Salah satu dampak dari sistem desentralisasi yang dianut pemerintahan Jerman, banyak terbentuk kota besar di Jerman, sekitar 80 kota. Jumlah penduduk di kota-kota tersebut lebih dari 100.000 jiwa.


Ekonomi

* Jerman memiliki pendapatan per kapita (GDP) urutan pertama di Eropa dan urutan ketiga di dunia. Pendapatan itu berasal dari sektor:
o Jasa: 70% (penyumbang paling besar)
o Industri: 29,1%
o Pertanian: 0,9%
* Jerman merupakan negara eksportir dan importir yang menempatkan diri pada urutan kedua terbesar di dunia. Neraca perdangan Jerman surplus sebesar € 165 Triliun.
* Jerman terkenal dengan industri otomotifnya. Perusahaan-perusahaan otomotif besar dunia tercatat berasal dari negara ini, seperti:
o Mercedes
o BMW
o Volkswagen
o Audi
o Porsche
* Jerman merupakan rumah bagi banyak industri farmasi besar dunia.
* Banyak pameran internasional terbesar diselenggarakan di beberapa kota di Jerman.
* Bursa saham di Frankfurt merupakan salah satu yang paling aktif di dunia.
* Angka pengangguran tercatat 7,5%. Angka tersebut bisa dikatakan terendah dalam beberapa puluh tahun terakhir.


Pendidikan

* Politik pendidikan di Jerman banyak ditentukan oleh masing-masing negara bagian. Hal tersebut menjadi alasan banyaknya perbedaan kebijakan mengenai pendidikan di antara negara-negara bagian. Salah satunya mengenai biaya penyelenggaraan pendidikan, yaitu di beberapa negara bagian masih diberlakukan politik pendidikan gratis, sementara di beberapa negara bagian lainnya sudah tidak diberlakukan lagi.
* Sejarah pendidikan Jerman begitu mengakar kuat di masyarakat. Hal tersebut menyebabkan Jerman menjadi salah satu negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik.
* Di Jerman tercatat 524 universitas dan sekolah tinggi. Meskipun demikian, penelitian terakhir dari PISA, untuk mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam, Jerman menempati ranking ke-21 dan ke-20 dari 43 negara.


Budaya
Kebudayaan Jerman bisa ditelusuri jauh sebelum terbentuknya negara Jerman. Nilai-nilai kebudayaan yang mengakar kuat antara lain : filosofi, literatur, musik, akademik, ataupun seni pertunjukan.

* Filosof

Sejak jaman pertengahan (Middle Ages), Jerman telah menjadi tanah air beberapa filsuf yang mempunyai pengaruh besar bagi pemikiran dunia, di antaranya:
o Albertus Magnus
o Kant
o Hegel
o Kalr Marx
o Engels
o Habermas
o Horkheimer
o Adorno (tiga tokoh ûenting Frankfurt School)
o Martin Luther (Bapak Protestan)
* Musisi
o Tokoh-tokoh musik dunia klasik seperti Bach, Beethoven, Brahms, dan kawan-kawan juga mendapat inspirasinya di Jerman.
o Jerman juga merupakan rumah bagi beberapa festival musik modern besar seperti The Rock am Ring Festival, Hurricane, dan lain-lain.
* Sastrawan
Bagi penggemar literatur, nama Goethe dan Schiller sudah pasti tidak asing lagi. Duo pujangga besar dunia ini juga berasal dari kota bersejarah di Jerman, Weimar.

Selain itu, Jerman merupakan rumah yang ramah bagi artis-artis seni pertunjukan, seperti teater dan opera. Pemerintah Jerman dan perangkat masyarakat lainnya adalah pihak penting bagi kelangsungan teater dan opera. Hampir setiap kota mempunyai teater atau opera yang dibiayai oleh negara.

Make that change with Oriflame!!!

Tampil Menarik
Slogan kami, ‘Natural Swedish Cosmetics,’ melambangkan inti dari portfolio lengkap kami yang berisi produk-produk unik, inovatif yang terinspirasi dari alam, termasuk bahan-bahan alami dan dikembangkan menggunakan teknologi ilmiah terbaru untuk membuat Anda tampil menarik.

Menghasilkan Uang

Dengan kesempatan menghasilkan uang yang unik bersama Oriflame, Anda bisa: Make Money Today and Fulfil Your Dreams Tomorrow™.

Bersenang-senang
Di Oriflame Anda dapat bertemu dengan orang-orang baru, mempunyai banyak teman dan pergi ke tempat-tempat yang menarik.

ORIFLAME:
Produk bermutu dengan kualitas terjamin. Bahan dasar
dari sari pati alami tumbuhan dan tidak di uji cobakan pada hewan
melainkan langsung pada sukarelawan dengan menjamin keamanan, kecocokan
serta efektifitas termasuk bagi kulit sensitif. Terdaftar di Asosiasi
Penjualan Langsung Indonesia. Demi menjaga keaslian, kualitas dan
kepuasan pelanggan, produk - produk ini tidak di jual di toko melainkan
HANYA melalui Consultant Oriflame.

Untuk pemesanannya silahkan hubungi
Agnes Ida (085259245870)
Terima Kasih ^___^

Klik website oriflame di www.oriflame.co.id untuk lihat katalog setiap bulannya.

Calvin Jeremy – Maaf

Berat ku rasa hari ini

Masih terdengar di telingaku semua kata

Tersadar ku telah sakiti hatimu

Meski bukan maksudku ’tuk lukai perasaan

Kasih maafkanlah aku dan jangan kau membisu

Karena kesalahanku, keegoanku

Berikanku kesempatan ’tuk perbaiki semua

Karna ku hanya ingin membuatmu bahagia

Ku rindukan tawa dan candamu saat ini

Yang biasa mengisi hariku, warnai hidupku

Ku perlukan cintamu, hadirmu di sini

Ku mohon kembalilah padaku seperti dulu

Kasih maafkanlah aku dan jangan kau membisu

Karena kesalahanku keegoanku

Berikanku kesempatan ’tuk perbaiki semua

Karena ku hanya ingin membuatmu bahagia

Kasih maafkanlah aku dan jangan kau membisu

Karena kesalahanku keegoanku

Berikanku kesempatan ’tuk perbaiki semua

Karena ku hanya ingin membuatmu bahagia

Kasih maafkanlah aku dan jangan kau membisu

Karena kesalahanku keegoanku

Berikanku kesempatan ’tuk perbaiki semua

Karena ku hanya ingin membuatmu bahagia

Artikel Calvin Jeremy – Maaf ini dipersembahkan oleh Lirik Lagu Indonesia. Kunjungi Download Mp3 Terbaru untuk mendapatkan lagu/mp3 indonesia terbaru.

Kamis, 24 Februari 2011

ETNIK LIO-ENDE Flores - NTT





A. Gambaran Singkat Etnik Lio-Ende
Masyarakat Kabupaten Ende bersifat majemuk. Kemajemukan itu secara khusus sangat jelas mewarnai masyarakat Kota Ende dan juga beberapa kota kecil di Kecamatan Wolowaru, Kecamatan Nangapanda, dan beberapa daerah pesisir utara dan selatan. Warga Kota Ende terdiri atas beragam suku bangsa dengan mayoritas etnik-etnik sedaratan Flores, Lembata, dan Nusa Tenggara Timur, NTT, utamanya Etnik Lio-Ende (lihat Sunaryo, dkk. 2006). Sebagai masyarakat yang terbuka, masyarakat Lio-Ende sejak beberapa abad silam, terutama sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, menerima warga Indonesia dari pelbagai wilayah Nusantara dan menjadi warga Kabupaten Ende. Perkembangan agama Islam dan Katolik juga menghadirkan para agamawan dan missioner dari Eropa dan Arab. Demikian pula kehadiran zending, gereja Kristen Protestan telah menghadirkan pula agamawan Kristen Protestan dari luar Flores seperti Rote, Sabu, dan Manado. Kaum birokrat negara pada instansi-instansi juga telah menghadirkan sejumlah warga bangsa Indonesia dari pelbagai etnik di Nusantara. Sementara itu, dunia niaga telah melibatkan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang memperkaya kemajemukan penduduk Kota Ende khususnya dan Kabupaten Ende umumnya, selain keturunan Arab yang juga mengemban tugas perniagaan. Perlu ditambahkan bahwa Etnik Bugis dan Makassar, selain hadir dengan sentuhan dunia niaga sejak ratusan tahun silam, juga menghadirkan budaya kebaharian. Unsur-unsur budaya Bugis dan Makassar yang hadir melalui Kerajaan Goa dan Bima, telah mewarisi tata tulis yakni aksara Lota Ende.
Dalam lingkup keetnikan, asal-muasal Etnik Lio-Ende, sebagaimana terekam dalam tradisi lisan mereka, dapat dipaparkan secara singkat berikut ini. Secara geneologis, penduduk Kabupaten Ende yang diidentifikasikan sebagai penduduk asli atau yang diasumsikan sebagai kerabat awal yang mendiami wilayah itu dikisahkan dan dimitoskan, berasal dari dua orang bersaudara yang yatim piatu, Lepe dan Mbusu (band. Wouden, 1985: 93), Nama Lepe, lelaki, dan Mbusu, perempuan, keduanya itu kemudian menjadi pasangan suami-istri. Pasangan Lepe dan Mbusu inilah yang menurunkan Orang Lio-Ende yang sekarang ini. Ke-12 anak Lepe dan Mbusu itu adalah (1) Unggu, sang putra sulung yang dengan anak cucunya mendiami wilayah Unggu, Nuapu, Wologai, dan Wolomuku; (2) Nggesa, dengan anak cucunya tinggal di wilayah Nggesa, Ndetumbewa; (3) Mbele, dengan keturunannya tinggal di Nggesambiri, Watunggere, Wolobalu, dan Wumbu; (4) Sega, dengan anak cucunya tinggal di wilayah Nida, Niopanda, dan Tanaria; (5) Papu, dengan anak cucunya tinggal di kawasan Moni, Ko'anara, dan sekitarnya; (6) Pera, dengan anak cucunya tinggal di Wolopau, Tenda, Nggela, (7) Sega dan (8) Tani masing-masing dengan anak cucunya tinggal di Lise, (9) Sari, dengan anak cucunya tinggal di Nuaone dan Detubuga; (10) Lemba dengan anak cucunya tinggal di Jopu dan Mbuli; (11) Rongge dengan anak cucunya tinggal di Ende dan sekitarnya; dan (12) Rangga dengan anak cucunya tinggal di Nangapanda, wilayah barat Kabupaten Ende. Keduabelas anak dari keturunan Lepe dan Mbusu itulah yang kemudian menjadi Tuan Tanah atau Mosalaki, penguasa adat di wilayah Lio-Ende hingga sekarang ini. Dapat diasumsikan pula bahwa sebelum dan sesudah kehadiran Lepe dan Mbusu dengan keturunannya itu, diperkirakan sudah ada pula keturunan lainnya, berkaitan dengan gerak penduduk dari wilayah asal Austronesia, yang oleh para ahli Austronesia berasal (homeland) di daratan Asia Selatan (Bellwood, 2003; Kern, 1823), selain dari arah timur Polinesia (Capell, 1957). Evidensi arkeologis berupa fosil-fosil berupa tengkorak manusia raksasa di Lia Natania, Ngada yang dikenal dengan Proto Negrito Florensia juga membuktikan kemajemukan asal muasal Orang Flores, termasuk penduduk Lio-Ende.
Jikalau subetnik Ende dikenal dengan "Orang Ja'o, di kawasan terbarat Kabupaten Ende dihuni pula oleh Subetnik Nga'o. Ciri ragawi manusia Lio-Ende yang unik, seperti juga Flores umumnya yang berkulit hitam dengan rambut hitam kriting di sisi berkulit putih dan sawomatang berambut ikal dan lurus, menjadi tanda-tanda kemajemukan asli mereka. Flores, secara khusus Flores tengah adalah daerah pertemuan dua ras besar, Austronesia yang Mongoloid dan Negrito. Penelitian lanjutan secara lebih mendalam dan tuntas,diharapkan dapat menemukan fakta kesejarahan ikhwal asal-muasal dan perkembangan penduduk Lio-Ende dan Flores umumnya.
Melalui temali genealogis keduabelas keturunan, selain dari keturunan lainnya itulah yang membangun satuan komunitas dan kekerabatan Lio-Ende. Mereka menguasai tanah ulayat, tanah persekutuan yang menjadi wilayah terbesar Kabupaten Ende setakat ini. Nama kedua leluhur itu diabadikan menjadi nama gunung tertinggi (1500-an meter dpl) di Kabupaten Ende, Gunung Lepembusu. Syair lagu Lepembusu ghele keli mila, lagu rakyat Lio Ende, juga turut memasyhurkan nama asal-muasal mereka. Keturunan itulah yang disebut keturunan Ananggoro (Mbete et al. 2006: 1).
Selain secara administratif mendiami wilayah Kabupaten Ende, Orang Lio-Ende, jika dicirikan oleh bahasa dan budaya Lio, juga mendiami dua kecamatan di wilayah Kabupaten Sikka, yakni di Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Fakta bahasa dan kebudayaan Lio-Ende memang menyebar hingga di kawasan Nangablo, Sikka barat dan di daerah Keborea, Ngada utara-timur. Hal ini menunjukkan bahwa Orang Lio-Ende memiliki wilayah hidup yang cukup luas di Flores Tengah.
Identitas sebagai Orang Lio-Ende itu memang tampak nyata pada bahasa, adat istiadat, dan sejumlah unsur kebudayaan lokal umumnya. Sudah tentu wilayah tanah warisan leluhur mereka, baik tanah yang diwariskan begitu saja karena digunakan sebagai lahan garapan turun- temurun yang dalam budaya Lio-Ende disebut tana nggoro, atau juga tanah yang dimiliki melalui perebutan dan perjuangan yang disebut tana godo, adalah juga temali perekat kesatuan mereka (lihat Bachtiar, 1981: 4-5). Kelompok Etnik Lio yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Ende dan dua kecamatan di Kabupaten Sikka, Paga dan Mego, menggunakan bahasa Lio atau sara Lio dengan dialek-dialeknya pula, sedangkan Subetnik Ende di Kota Ende dan sekitarnya, menggunakan dialek Ende atau sara Ende. Variasi dialektal dan juga unsur-unsur subkultur menandai perbedaan antara kedua subetnik itu, seperti juga halnya antara dialek-dialek dan subkultur Lio. Perbedaan lingual itu bersifat dialek karena jikalau Orang Lio dan Orang Ende berkomunikasi dengan bahasa atau dialeknya sendiri-sendiri, kedua penutur itu masih cukup saling memahami (mutually intelegibility). Banyak orang Lio yang relatif dapat ber-sara Ende, demikian pula sebaliknya. Di daerah perbatasan dengan Ngada, juga masih di wilayah administrasi Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende, seperti telah disinggung di atas, ada pula subetnik Nga'o yang menggunakan bahasa atau dialek Nga'o. Identifikasi kebahasaan dan keetnikan ini jelas membutuhkan penelitian khusus pula.
Selain dicirikan oleh bahasa yakni sara Lio, sara Ende atau sara Ja.'o, dan sara Nga'o, Orang Lio-Ende juga memiliki dan menunjukkan adat-istiadat yang relatif berbeda dengan Orang Sikka dan Orang Ngada, bahkan juga dengan Orang Larantuka, Orang Lembata, dan Orang Manggarai. Unsur-unsur mahar atau belis dalam adat kawin-mawin agak membedakannya. Salah satu contoh adalah bentuk belis, mas, yang kini mulai diganti dengan uang, adalah ciri mahar (mas kawin) bagi Etnik Lio-Ende, sedangkan gading berlaku dalam adat Sikka dan Larantuka. Kendatipun ada perbedaan, persamaan pada segi hewan dan uang pengganti emas dan gading semakin marak, di sisi kesamaan sistem patrilineal dan sebagian matrilineal, perubahan, perbauran dan atau penyesuaian dengan kondisi ekonomi dan perubahan nilai, mulai menggejala kuat pada masyarakat Flores. Pernikahan pasangan beda suku, baik antarsuku di Flores dan sekitarnya maupun dengan suku-suku lainnya di Indonesia, telah menjadi kekuatan perubahan sistem, terutama penyesuaian yang dimaksudkan itu. Intensitas dan ekstensitas perbauran karena pernikahan lintasetnik yang semakin marak dewasa ini dapat disimak terutama di daerah-daerah perbatasan Lio-Sikka, Lio-Ende-Ngada, dan tentunya pada masyarakat Kota Ende.
Budaya religi dan struktur kekerabatan sebagai Orang Lio-Ende juga masih menunjukkan entitasnya yang juga tetap memperlihatkan perbedaannya dengan etnik-etnik lainnya di Flores. Demikian pula busana lokal keetnikan dengan motif tenun ikatnya menunjukkan pula keunikannya. Dalam hal seni musik, lagu-lagu Lio-Ende memiliki kekhasan yang menarik banyak orang dan dikenal luas tidak hanya di Flores melainkan juga di banyak sudut Nusantara. Gawi, tari sakral yang biasanya menyatu kehadirannya secara kontekstual dengan sejumlah ritual perladangan dan sosial (wake laki, pelantikan atau pemakaman tetua adat, menempati rumah adat utama), dewasa ini telah mengalami juga proses profanisasi, menjadi tarian keakraban dalam resepsi pernikahan, penerimaan komuni pertama, dan pentabisan imam baru. Hal yang sama berlaku juga pada tarian ja'i dalam masyarakat Ngada.


B. Tatanan Sosial Tradisional dan Gejala Perubahan

Masyarakat Kabupaten Ende yang terdiri atas dua etnik utama, Etnik Lio dan Etnik Ende, serta satu etnik kecil, Nga'o merupakan pilar demografi yang membangun struktur masyarakat Lio-Ende sejak dulu hingga dewasa ini di sisi etnik-etnik lainnya. Gambaran kemajemukan itu, seperti telah diuraikan di atas, sangat jelas pada masyarakat Kota Ende. Sebagaimana karakteristik kependudukan kota-kota lainnya di Indonesia dan di mana pun, penduduk Kota Ende didominasi oleh Orang Ende, Orang Lio, Orang Larantuka, Orang Manggarai, Orang Ngada, Orang Sikka, Orang Lamaholot, Orang Sabu, Orang Rote, dan sejumlah warga dari Etnik Jawa, Cina, Arab, dan juga etnik-etnik lainnya. Di daerah pedalaman dan pedesaan, penduduknya terdiri atas Orang Lio dan Orang Ende yang merupakan penduduk "asli" Lio-Ende, dikenal juga sebagai masyarakat tradisional Lio-Ende.
Sebagaimana juga masyarakat lainnya di daratan Flores dan sekitarnya, masyarakat tradisional di Kabupaten Ende secara umum adalah komunitas petani-peladang. Di kawasan pesisir utara dan selatan, masyarakatnya tergolong pelaut dan juga peladang. Sebagai suatu komunitas, di dalamnya ada bangunan sosial atau strata sosial, ada pertingkat-tingkatan sosial tradisional. Kriteria ekonomi dalam hal ini permilikan tanah garapan atau lahan garapan (pemilik tanah banyak atau luas, sedang, dan sedikit, bahkan ada yang tidak memiliki lahan sama sekali), kriteria politik (ada kelompok penguasa dan bawahan atau rakyat umumnya), kriteria akses dan kesempatan hidup (lahir dari keluarga atau keturunan bangsawan, atangga'e dan orang kebanyakan) dan kriteria sosio-religi. Yang terakhir ini jelas ada kelompok rohaniwan, agamawan dan kelompok awam atau umat kebanyakan di jenjang bawah. Kendati bertumpang tindih bahkan sulit dijelaskan batas-batasnya, dalam struktur atau bangunan sosial itu memang terjadi pemilahan dan pemisahan (segregasi) sosial.
Masyarakat Lio-Ende mengenal pembedaan kelas dan kelompok sosial. Ada dua lapisan atau kelas sosial utama yakni lapisan atas dan lapisan bawah. Lapisan atas merupakan kelompok pemimpin informal, kelompok yang memiliki pengaruh besar atas kehidupan masyarakat. Kelompok inilah yang secara tradisional merupakan pemimpin adat dan lembaga tradisional yang diwarisi turun-temurun. Dalam masyarakat Lio-Ende, lapisan atas ini lebih dikenal dengan kelompok mosalaki, atangga'e, ataria "tuan tanah", pembesar atau penguasa berbasiskan tanah adat, mendiami, dan menguasai Sa'oria Tendabewa atau Sa'opu'u, "rumah adat utama".
Di bawah kelompok atau lapisan elite tradisional itu, ada kelompok khalayak umumnya yang dikenal sebagai anakalo faiwalu. Secara harafiah ata faiwalu anakalo adalah kelompok janda-janda dan yatim piatu. Makna yang umum dan mendasar dari faiwalu anakalo adalah lapisan atau kelompok sosial di luar mosalaki (juga riabewa), yakni masyarakat umumnya. Di dalamnya termasuk kerabat luas atau aji ana. Dalam pemahaman masyarakat setempat, aji ana adalah warga sekerabat atau anggota masyarakat yang dikaitkan dengan kelompok yang berkekurangan atau yang sejarah dan nasib hidupnya ditebus atau dijamin oleh orang lain, semacam orangtua asuh atau majikan. Inilah kelompok terbesar dalam masyarakat tradisional Lio-Ende. Sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia, dikenal pula kelompok tertentu yakni ata ko'o, para budak, orang-orang suruhan. Namun, dewasa ini konsep itu telah pudar dan menghilang. Semangat kesederajatan atau kesetaraan mendesak sikap feodalisme dan diskriminatif itu.
Tatanan sosial asli dalam masyarakat di Kabupaten Ende seperti yang diuraikan secara singkat di atas memang masih ada secara nyata dalam kehidupan komunitas petani-peladang Lio-Ende. Hingga sekarang masyarakat tetap menempatkan elite tradisional mosalaki, termasuk riabewa yang secara khusus ada di wilayah tanah persekutuan Lise Tana Telu, sebagai kalangan atas, sebagai pemimpin, pengayom, dan penata kehidupan sosio-kultural perladangan dengan sa'opu'u dan saa'oria tendabewa sebagai pusat. Kedudukan dan fungsi mosalaki memang tetap diakui dan dipelihara terutama dalam kaitan dengan adat istiadat, ritual-ritual adat dalam kehidupan perladangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa tanah dan pertikaian sosial. Selain itu dalam ritual peletakan batu pertama pembangunan rumah adat dan rumah-rumah rakyat serta bangunan publik lainnya, para mosalaki setempat tetap hadir dan berperan. Kendati telah ada gejala penurunan wibawa, namun legitimasi kelompok sosial atas ini masih tetap kuat. Perlu ditambahkan bahwa kendati sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia nuansa egaliter muncul, namun wibawa dan posisi lapisan atas itu tetap hadir, diakui, dan masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Hal ini sangat terkait dengan hakikat pemaknaan tanah garapan dan hubungan kosmologis masyarakatnya.
Paparan sekilas tentang tatanan masyarakat Lio-Ende di atas adalah kenyataan yang memang masih hidup secara tradisional di tengah adanya kelompok sosial baru seperti para pengusaha, pedagang, ahli bangunan, para guru dan pegawai desa, dan kelompok fungsional lainnya. Harus diakui bahwa bangunan sosial kemasyarakatan Lio-Ende setakat ini sudah berubah, termasuk tatanan tradisionalnya. Hak mewarisi jabatan kelembagaan tradisional mosalaki, termasuk riabewa di beberapa wilayah tanah persekutuan, sebagai hak kesulungan, tidaklah selalu mulus, linear, dan prosedural, di antaranya juga disesuaikan dengan kondisi penguasa. Sudah tentu dalam tatanan sosial baru ini, elite lokal yang di dalamnya termasuk pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa/lurah, demikian juga para pemimpin agama (pastor, guru agama atau katekis, dan para haji-hajah), menempati posisi sosial tersendiri. Di antara mereka termasuk kelompok atas yang berbeda dengan kelompok umat dan atau para petani-peladang umumnya. Kelompok pedagang dan pebisnis, yang sebagiannya tergolong Etnik Tionghoa dan Arab sebagai unsur dominan, masuk dalam kategori ini dan menjadi bagian dari bangunan masyarakat Lio-Ende pula. Dalam struktur itu, lapisan penguasa tanah, mosalaki, termasuk riabewa di wilayah tanah persekutuan tertentu seperti Lise Tana Telu di Lio Timur, masih bertahan kuat sebagai elite atau petinggi tradisional.
Sebagai bagian terbesar dari masyarakat Lio-Ende, komunitas petani-peladang layak dibahas secara khusus. Kaum petani-peladang dengan karakteristik kehidupan mereka yang cukup homogen dan "menyatu" dengan lahan garapan itu mendiami perkampungan-perkampungan asli yang disebut nuaola, kopokasa. Setiap satuan kekerabatan yang mendiami nuaola yang bersifat genealogis dalam satuan komunitas itu menguasai suatu kawasan tanah adat dengan pusat di Sa'opu'u di kampung utama, Nuapu'u. Rumah-rumah kediaman mereka umumnya melingkari bebukitan dengan pola tertentu.
Perlu diuraikan pula bahwa lahan garapan juga dapat menempati wilayah tanah persekutuan lain sehingga mereka selalu menyesuaikan pula ritual-ritual yang berkaitan dengan perladangan di wilayah tanah persekutuan itu. Komunitas petani-peladang yang mendiami nuaola tertentu umumnya berasal dari suatu keturunan yang biasanya diperluas melalui sistem perkawinan yang endogen dan eksogen. Mereka mendiami rumah-rumah beratapkan ilalang kendati kini, scbagian rumah penduduk kampung telah beratap seng. Kampung-kampung di Lio-Ende berukuran kecil, sekitar 20-30 keluarga, sedang, dan besar dengan jumlah ratusan rumah dan keluarga batih. Sebagai contoh, Kampung Nggela di Kecamatan Wolojita tergolong salah satu contoh kampung besar dengan lebih dari dua-tiga ratus rumah dan kepala keluarga (KK). Beberapa kampung besar lainnya adalah Kampung Jopu-Ranggase, sedangkan kampung-kampung berukuran sedang misalnya Watuneso, Wonda, Ma'ubasa, Lunggaria, Masebewa (Ndori), Watunggere, Wolotopo, Wologai, Sokoria, Roga, dan sebagainya.
Semua kampung yang dicontohkan di atas tergolong kampung tua dengan tradisi megalitiknya yang masih tegar bertahan. Tembok penopang pelataran suci yang disebut kanga, dibangun dengan bahan dasar batu. Pusara leluhur dan makam-makam para nenek moyang dan kerabat lainnya, di antaranya berbentuk dolmen, adalah batu-batu besar hitam-ceper masih sangat kuat terwaris dan terpelihara. Pada setiap ritual penting atau dalam situasi tertentu, makam-makam itu diziarahi oleh anak cucunya. Makam leluhur itu umumnya terletak di tengah kampung, di dalam lingkungan kanga. Ada pula makam yang ditempatkan di depan rumah di samping di pinggir kampung. Dalam sistem religi asli Lio-Ende, hubungan secara rohani dengan orang yang sudah meninggal tetap erat kendati secara ragawi berpisah. Para leluhur yang sudah meninggal, baik yang dimakamkan di dekat rumah kediaman mereka maupun di lokasi lain, diyakini selalu memantau, menjaga, dan menuntun kehidupan mereka. Pertanda kedekatan hubungan mereka secara rohani dengan orang yang sudah meninggal itu terwujud dalam ritual Pati Ka "mempersembahkan makanan kepada leluhur mereka" baik di sudut kanan rumah (wisu nggana) maupun di makam.
Sebagian besar kampung asli di Lio-Ende menempati punggung dan lereng bukit. Perang suku pada masa lalu atau perang antarwilayah tanah persekutuan untuk berekspansi memperluas lahan garapan, merupakan salah satu faktor pendorong utama yang menentukan mereka memilih punggung bukit sebagai lokasi pemukiman yang strategis. Dari atas bukit itulah mereka dapat memantau dan menghadapi musuh. Cara memberi nama (ethnography of naming) yang khas itulah yang memunculkan nama-nama kampung di Lio-Ende yang menggunakan formatif wolo-, bahkan juga di Ngadha dan Sikka. Sebagai contoh: woloboa, wologai, wolojita, wolosoko, wolomude, wolomuku, wolokoli, wolomage, wolonawa, wolonio, wololanu, wolosoko, wolotopo,wolowaru. Berkaitan dengan tradisi batu, bentuk batu juga menjadi formatif. Sebagai contoh ada nama kampung-kampung seperti: watubewa, watuneso, watunggere, watugana, watusipi, dan sebagainya. Selain di bebukitan, perkampungan di Lio-Ende juga menempati dataran sehingga muncul nama-nama kampung: detupera, detuko'u, detusoko, detukeli, detubapa, dan sebagainya. Seperti dijelaskan di atas, pola melingkar perkampungan asli dengan ulu dan eko-nya itu berpusat pada lokasi yang sakral tubumusu lodanda di tengah kanga (pelataran) yang semuanya tampak menyatu dengan keda, "lokasi musyawarah adat" dan utamanya dengan sa'opu'u, "rumah adat utama".
Di sekitar kampung atau nuaola itulah mereka melakukan kegiatan utama sebagai petani-peladang. Dalam radius 1-5 Km, bahkan juga lebih jauh lagi dari kampung itu terbentang lahan-lahan yang digarap, masing-masing dengan luas 1-2 hektar. Pada umumnya lahan- lahan garapan itu secara topografi ada yang berada pada kemiringan hingga 85 derajat. Kondisi topografi yang menantang nyawa itu jelas membutuhkan keberanian tersendiri sejak membuka hutan pada siklus tertentu (5-7 tahun), terlebih saat menanam dan menyianginya. Kondisi alam ini merupakan tantangan tersendiri, dan tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka yang terbiasa di dataran rendah.
Budaya perladangan Lio-Ende memang padat dengan ritual atau upacara. Sehubungan dengan itu, sejak leluhur mereka telah disediakan lokasi khusus sebagai tempat sakral dilakukannya ritual pembukaan musim tanam yang disebut po'o, ada yang menyebutnya po'o te'u. Lokasi ritual pembukaan musim tanam itu biasanya berada di sekitar sungai karena sungai dengan airnya yang mengalir itu akan digunakan juga sebagai sarana ritual termaksud. Tempat yang dianggap angker itu juga ditumbuhi tanaman besar, pepohonan tinggi seperti kenari, dan pohon besar lainnya enau, dan pohon perdu lainnya. Lokasi itu umumnya dilarang untuk disentuh, baik untuk mengambil kayu bakar, bahan bangunan, atau kebutuhan lainnya. Komunitas peladang di sekitar itu, baik dari kampung terdekat maupun yang jauh menggunakan lokasi itu untuk melakukan ritual itu setiap tahun, sesuai dengan kalender adat dan satuan wilayah ulayat mereka. Melalui ritual di lokasi itulah mereka menjalin dan memulihkan kembali harmoni hubungan kekerabatan, kebersamaan, soliditas, dan solidaritas antarmereka, serta dengan kekuatan adikodrati (supernatural tanawatu.
Tata kehidupan komunitas peladang merupakan bagian terbesar masyarakat Etnik Lio-Ende, dan Flores umumnya. Dikatakan demikian, karena di samping komunitas peladang, dalam jumlah terbatas, ada pula kelompok-kelompok di luar petani-peladang yakni pesawah, petani-pebisnis, dan sedikit peladang penggarap. Sejak tahun 1980-an, ketika lembaga swadaya masyarakat, LSM Tananua bersama masyarakat mengembangkan tanaman perdagangan baru yang produktif seperti cengkeh, kakao, kemiri, dan vanili, banyak lahan garapan untuk padi lokal dan tanaman lokal penyedia pangan asli yang dicaplok untuk tanaman perdagangan baru itu. Sejak itu pula perubahan sosio-ekonomi mulai terjadi dan mengubah sejumlah aspek dalam tatanan budaya perladangan asli Lio-Ende.

Perubahan pemukiman dalam kaitan ekologi-demografis juga telah terjadi. Jikalau pada masa lalu, ketika pertumbuhan penduduk relatif masih rendah, perumahan rakyat dan perkampungan asli umumnya menempati lereng-lereng dan punggung-punggung bukit dan gunung, dewasa ini terutama sejak terbukanya isolasi karena tersedianya infrastruktur seperti jalan-jalan raya baru yang menembusi sekat-sekat ruang pedalaman Lio-Ende, berubah pulalah orientasi ruang tetap untuk hidup khususnya rumah tinggal. Pertambahan jumlah penduduk memang menjadi penentu orientasi ruang tempat tinggal itu. Kampung tradisional dan asli memang masih tampak kendati kurang terpelihara dan terkesan sepih. Banyak kerabat yang telah beralih tempat tinggal. Jikalau kampung asli berlokasi agak jauh atau di ketinggian bukit dan gunung serta jauh dari jalan raya utama, sekarang ini rumah-rumah kerabat dan keluarga baru umumnya menempati sisi-sisi jalan raya jalan negara, jalan provinsi, dan bahkan jalan kabupaten yang baru dibuka. Ruang mukim baru ini merupakan kecenderungan baru (lihat Mbete et.al 2006) seiring dengan sempitnya lokasi kampung asli dan konflik internal keluarga batih.
Perubahan di atas jelas menjadi indikator telah terjadi perubahan sosio-kultural dan lingkungan pemukiman, sebagaimana juga perubahan aspek-aspek kebudayaan Lio-Ende yang lainnya seperti perubahan pola makanan, perladangan, dan transportasi. Ketersediaan jalan-jalan baru, selain menghadirkan jasa transportasi baru, telah pula menghadirkan industri jasa angkutan baru berupa ojek hingga ke pelosok-pelosok Lio-Ende. Jikalau dulu masih terbelit keterbatasan jenis dan jumlah alat transportasi, hanya truck dan sedan para elite daerah, kini alat-alat transportasi berkembang dan maju pesat. Minibus dan truck lintaskota dan lintasprovinsi, telah semakin padat melintasi kawasan-kawasan Lio-Ende yang secara khusus dilalui oleh jalan negara, sebagian jalan provinsi, dan jalan kabupaten, serta jalan desa. Banyak truck gandeng dan peti kemas yang mengangkut aneka komoditas, baik dari luar maupun dari Lio-Ende dan Flores umumnya berupa hasil buminya. Semuanya ini jelas menunjukkan adanya perubahan kultural masyarakat lokal. Lancarnya perhubungan laut setelah datangnya kapal-kapal besar untuk barang dan orang melalui dermaga Ippi dan Ende, serta beberapa dermaga lainnya di Flores, maupun melalui bandara-bandara di Ende dan Maumere juga memengaruhi kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores dan Lio-Ende, khususnya kawasan-kawasan yang telah lama dilintasi dan disentuh oleh infrastruktur dan kemajuan pendidikan.


C. Struktur Permilikan Tanah

Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Ende, khususnya dikawasan selatan dan tengah, memang menjadi ajang dan andalan kehidupan masyarakat setempat dengan usaha pokok perladangan. Perladangan telah menjadi ikon dan tumpuan sejak nenek moyang mereka berabad-abad silam. Dengan kata lain, lingkungan alam yang kaya dengan bebukitan dan pegunungan yang cukup terjal itu sejak zaman dahulu sudah "ditaklukkan" dengan teknologi perladangan. Itu pula yang menjadi latar saratnya ritual perladangan bagi Etnik Lio-Ende. Di samping ladang, sawah juga menjadi pilihan garapan lainnya yang telah memperkaya cara hidup dan penghidupan masyarakat setelah budaya sawah diperkenalkan oleh para pesawah dari Bima pada awal abad ke-20 (lihat Sunaryo et.al 2006). Dengan tata irigasi yang memadai terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya air sungai, sawah hadir secara terbatas di Kabupaten Ende, selain dikembangkan secara cukup intensif di dataran Ma'utenda dan Kotabaru. Perlu dijelaskan bahwa sistem pertanian terpadu (integrated system) sudah berlangsung lama sebagaimana perkembangan kebudayaan pertanian sejak leluhur Austronesia. Dalam komunitas petani Lio-Ende, dikenal pula konsep kuru (juga kopo kasa) dan napu. Kuru dalam konteks ini bermakna padang penggembalaan kerbau, misalnya ada kuru kamba 'padang penggembalaam kerbau', sapi, domba, kambing, sedangkan napu adalah perkebunan khusus untuk tanaman keras dan perdagangan. Di kalangan komunitas petani-peladang Lio Ende dikenal istilah napu nio, 'kebun kelapa' napu keu 'kebun pinang'. Masih ada sisa-sisa kuru dan napu, namun dewasa ini banyak yang sudah berubah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekologi dan topografi kawasan Lio-Ende yang tergolong sulit dan menantang itu telah membangun budaya dan etos kerja serta keterampilan khusus yang menopang kehidupan komunitas peladang Lio-Ende turun-temurun kendati sawah tergolong sangat terbatas jumlahnya. Justru adanya tantangan ekologi itulah yang kemudian dijawab sebagai kebudayaan, adanya kebiasaan, dan terasahnya keterampilan teknikal dalam mengolah lingkungan hidup yang "ganas" kondisinya itu. Tepatlah pemahaman konsep kebudayaan yang diberikan oleh sejarawan Arnold Toynbee bahwa kebudayaan adalah jawaban suatu kelompok masyarakat atas tantangan alam lingkungan dalam konteks dan demi mempertahankan dan melanjutkan hidup, penghidupan, dan kehidupan manusia itu sendiri. Etos kerja inilah juga yang menjadi kekuatan manusia Lio-Ende.
Kebudayaan perladangan yang dimiliki oleh Etnik Lio-Ende saat ini adalah fakta sejarah bahwa leluhur mereka telah menemukan cara "menaklukkan dan memanfaatkan sumber daya alam khususnya sumber daya lahan" demi kehidupan mereka. Lahan yang terjal dan curam bahkan mungkin awalnya gersang atau juga padang rumput gersang, sementara itu curah hujan yang minim adalah tantangan alam pula. Namun, tantangan itu telah mampu diatasi oleh para leluhur Orang Lio-Ende setelah mereka menaklukkannya lewat tekad, kerja keras, dan perjuangan yang kemudian menghasilkan budaya dan teknologi perladangan dengan tata ritualnya itu. Adalah fakta sejarah dan kebudayaan pula bahwa pola dan teknik perladangan yang diwariskan itu berakumulasi dengan pengalaman mereka mengatasi erosi, memelihara lahan (konservasi), di sisi teknologi perladangan asli yang produktif dan ramah lingkungan. Adalah juga kisah masa lalu, bahwa jikalau mereka mengolah lahan secara benar dan tentunya melalui prosedur ritual yang tepat, kelimpahan hasil panen tahunan, niscaya semuanya itu menjadi prestasi, sekaligus meramu prestise sosial mereka pula. Patut diuraikan bahwa teknologi dan budaya perladangan itu telah melewati masa uji panjang dalam perjalanan sejarah. Terlepas dari kesalahan atau kekurangtepatan penggunaan teknologi tradisional dalam mengolah ladang yang berakibat terbakar dan gersangnya lahan, dan di sisi lain kondisi alam yang ganas dan menantang komunitas peladang Lio-Ende, masyarakat lokal juga telah memiliki kearifan dan teknologi yang ramah lingkungan. Pemeliharan lahan dalam siklus tertentu penghutanan sebelum dibuka kembali menjadi ladang baru, tampak pada pembudidayaan pepohonan dan perdu, penanaman pohon waru (hibiscus) dan kera dan secara khusus juga tanaman denu dan ko'u yang multifungsi itu. Lebih daripada itu budaya perladangan etnik setempat telah membangun warna kepribadian berbasiskan perladangan asli, bagaimana mereka mencintai dan mendayagunakan sumber daya lahan,dan menjadi pilar jati diriatau kepribadian. Dikatakan demikian karena perilaku berbasiskan budaya perladangan itu, sesungguhnya secara teratur membina keserasian dan kesinambungan hubungan kosmologis mereka dengan alam (no'o tana watu), dengan Sang Pencipta, dengan leluhur mereka, dan tentunya dengan sesama yang masih hidup.

Berkaitan dengan itu, hubungan kekuasaan atas tanah menjadi dasar gerak budaya perladangan. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap keluarga peladang memang berbeda-beda jumlah atau luas ladang dan atau tanah garapan mereka. Secara umum memang ada yang memiliki lahan garapan yang luas dan banyak, sementara ada keluarga peladang yang sedikit bahkan tidak memiliki lahan garapan sama sekali. Kelompok yang terakhir ini hanyalah menunggu belaskasih para pemilik ladang lainnya.
Secara umum ada beberapa jenis lahan, tana, atau ngebo dalam komunitas peladang Lio-Ende. Jenis-jenis lahan, tana atau ngebo adalah: (1) tana nggoro. Lahan garapan jenis ini tergolong warisan paling lama ketika leluhur dulu tiba pertama kali (nggoro wa'u tana dek). (2) Tana guta mbaku atau Tana tego bani, lahan yang diperoleh karena menang perang; (3) tana ngore no'o ome, wa'u no'o wajo, yakni lahan yang dibeli; (4) Tana lawo lambu, te'e lani; lahan yang diperoleh dalam kerangka mahar pernikahan; (5) Tana pura pu titi oto, toa lele kumi, siki watu lamu. Lahan jenis ini diperoleh karena keberanian membuka hutan dengan segala kemampuan; (6) Tana kuru kamba; lahan jenis ini dimilikimelalui usaha peternakan secara tetap di lokasi tertentu, sebagaimana terungkap uielu metu rota rnosa, tana kum sapu'u, ae sanaku; (7) Tana toko tuka, obo ro, paka baja. Lahan jenis ini diperoleh karena balas jasa seseorang atau suatu keluarga alas kebaikan dan pengorbanan mereka; 8) Tana pu'u kaju koba aje; lahan jenis ini diperoleh karena prestasi seseorang atau suatu keluarga; (9) Tana leo; lahan yang dimiliki sebagai denda atau pepulih karena perzinahan dan atau permesuman (wale pela); (10) Tana dai singi luga ra'i, dai ma'u enga nanga; lahan yang dimiliki karena jasa dan tanggung jawab di daerah perbatasan; (11) Tana mopo, lahan yang dihibahkan oleh komunitas peladang kepada mosalaki sebagai kepala dan pemimpin adat, dan digunakan untuk ritual-ritual tertentu dan pembukaannya untuk dijadikan ladang harus menggunakan kerbau bertanduk; (12) tana laki watu ongga yakni lahan persekutuan untuk ritual-ritual umum; dan (13) Tana leka li'e ro'a yakni lahan di lokasi yang terjal dan yang sulit digarap karena berisiko sangat tinggi. Jenis lahan terakhir ini berkaitan dengan keberanian seseorang yang dapat "menaklukan" medan terjal, Bahkan jenis aur atau bambu yang ditanam di lokasi terjal ini dianggap bernilai tinggi dan dapat digunakan untuk bahan bangunan khusus.
Kemampuan dan daya konservasi dihargai oleh masyarakat. Secara umum, memang lahan garapan terbagi dalam dua kategori, (1) tana nggoro dan (2) tana godo. Tana nggoro memiliki sejarah yang berbeda. Tanah kategori ini seperti diuraikan di atas, jelas berkaitan dengan asal muasal kekerabatan (lihat Wackers, 1997:29; Mbete, 2006:16). Biasanya tanah ini secara simbolis diperkuat pula dengan emas warisan sebagai pusaka suci dan tentunya sejarah lisan yang tertuang dalam tuturan kekerabatan itu. Itulah sebabnya, penyelenggaraan ritual dalam kelender adat menjadi sangat penting karena kisah dan sejarah tanah dan keturunan dari kampung itu selalu dituturkan dan didendangkan kembali oleh Ata Sodha saat memimpin dan mementaskan gawi, tarian massal yang sakral.

Dalam masyarakat Lio-Ende, tana nggoro memang berbeda hakikat dan kedudukannya dengan tana godo. Godo dalam bahasa Lio-Ende mengandung makna "perjuangan, pengorbanan serta jasa" pula. Seperti yang dirincikan di atas, tana godo adalah lahan yang dimiliki atas hasil usaha, misalnya karena pertukaran atau juga karena utang yang tak mampu dibayar oleh orang lain yang digadaikan dengan lahan tertentu. Jikalau hingga batas waktunya uang atau barang yang digadaikan itu tak dapat dikembalikan oleh penggadai, niscaya lahan garapan sebagai jaminan itu menjadi hak milik seseorang yang telah meminjamkan uang atau barang. Kendatipun diklasifikasikan seperti di atas, status, struktur permilikan, dan fungsi lahan telah pula mengalami perubahan karena perkembangan kebutuhan, tuntutan ekologi, dan kependudukan. Dewasa ini kemajuan ekonomi dari kalangan mana saja, memberikan peluang untuk membeli dan memiliki lahan-lahan baru di lokasi-lokasi strategis, khususnya di sekitar jalan negara.

Senin, 21 Februari 2011

Stress!!!!

Hhhaaaaooodddddwwwww..... streeesss!!
Hanya kata2 itu saja yang lebih banyak keluar dari mulutku sekarang.
Sepertinya kata ini sudah menjadi bagian dari "kehidupan" di tempat pencarian titelku. hummpff!!! Terlalu banyak hal yang membuatku semakin tak karuan. Sedikit-sedikit stres. sedikit-sedikit stres. Depresi! Frustasi! Sudah lama ku tanamkan dalam tekadku untuk selalu berpikir positif pada setiap masalah dan tanggung jawab yang dilimpahkan padaku dan emang sebenarnya masalah yang ada itu kecil saja seperti tahi lalat seh, semuanya terlihat sangat gampang dan aduhaiii santainyaa..tapi... setelah aku dihadapkan dengannya, yang ada malah pusing, mata berkunang-kunang, tubuh lunglai, lelah, lemas, lesu, und so weiter....
Ooowwhhhh....aku ingin lari saja dari sini. menghilang jauh-jauh dari keramaian manusia yang berlalu lalang di depanku.

Stres macht mir ein bisschen verruckt wahrscheinlich...

Jumat, 18 Februari 2011

Overconfidence

Memiliki rasa kepercayaan diri tinggi itu bagus, bermanfaat dan kadang-kadang dibutuhkan bagi siapa saja dalam berbagai kondisi. Bahkan banyak sekolah-sekolah merasa perlu untuk memberikan tambahan pelajaran bagi para siswanya tentang memompa dan meningkatkan rasa kepercayaan diri bagi siswa-siswanya.
Percaya diri itu perlu, bahkan harus dan keharusan!!!
Tapi apa iya terlalu percaya diri untuk semua hal juga perlu, harus dan dibutuhkan?

Trnyata jawabannya tidak..
Overconfidence akan membuat kita arogan dan lupa diri. Percaya diri yang amat sangat bahkan mengaburkan pandangan dan pikiran apa-apa bahwa kita hanya manusia biasa yang terkadang memiliki kelemahan, kekurangan dan hal-hal negatif. Terlalu percaya diri juga biasanya akan memicu arogan yang amat sangat dan posesif dan sikap ke-aku-an menjadi -jadi.
Terlalu percaya diri pada beberapa hal bagus tapi pada hal-hal lain akan menjadi blunder dan bumerang bagi pelakunya sendiri, karena terlalu meremehkan hal-hal yang bisa saja merusak rencana-rencana besarnya.
Orang yang terlalu percaya diri terlalu besar biasanya tidak memperhitungkan orang lain, pikiran dan masukan orang lain dan hanya berpikir bahwa apa yang dipikirnya selalu benar karena dia mr.right.


Intinya, percaya diri boleh, tapi jangan terlalu PD karena itu akan
menumbangkan rasa peduli dan kehati - hatian diri pribadi dan pada suatu saat akan merugikan orang lain dan pasti merugikan diri sendiri. Cobalah saat percaya pada diri, lihat dampak dan efek - efek lain yang tak cukup hanya dengan percaya diri berlebihan.

Kamis, 17 Februari 2011

Herzlich willkommen!!!!

Hurraaaa!!!! Endlich habe ich ein Blog!! Gott sei Dank!
Dies ist erstes Mal stelle ich meine Schreibung im Blog! Wie froh bin ich...
Semoga teman-temin senang membacanya^^